Senin, 15 Juni 2015

Kondisi Ketahanan Pangan di Indonesia

Program ketahanan pangan telah dilakukan sejak zaman Presiden Soekarno dengan Program Berdikari, begitu pula zaman Presiden Soeharto dikenal dengan Program Swasembada Pangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa ada usaha yang cukup berperan dalam meningkatkan upaya ketahanan pangan di Indonesia.
Indonesia sempat dikenal sebagai negara dunia ketiga yang sukses dalam swasembada pangan, dan bahkan pernah mendapatkan penghargaan dari FAO. Di penghujung tahun 1980-an, Bank Dunia memuji keberhasilan Indonesia dalam mengurangi angka kemiskinan yang patut menjadi contoh bagi negara-negara sedang berkembang (World Bank,1990). Namun prestasi ini tidak berlangsung lama dapat dipertahankan.
Kondisi saat ini, pemenuhan pangan sebagai hak dasar masih merupakan salah satu permasalahan mendasar dari permasalahan kemiskinan di Indoensia. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 menggambarkan masih terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, yaitu belum terpenuhinya pangan yang layak dan memenuhi syarat gizi bagi masyarakat miskin, rendahnya kemampuan daya beli, masih rentannya stabilitas ketersediaan pangan secara merata dan harga yang terjangkau, masih ketergantungan yang tinggi terhadap makanan pokok beras, kurangnya diversifikasi pangan, belum efisiensiennya proses produksi pangan serta rendahnya harga jual yang diterima petani, masih ketergantungan terhadap import pangan.
Padahal ketahanan pangan bukan hanya sebagai komoditi yang memiliki fungsi ekonomi, akan tetapi merupakan komoditi yang memiliki fungsi sosial dan politik, baik nasional maupun global. Permasalahan utama yang dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia saat ini adalah bahwa pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaan. Permintaan yang meningkat merupakan resultante dari peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, peningkatan daya beli masyarakat, dan perubahan selera. Sementara itu, pertumbuhan kapasitas produksi pangan nasional cukup lambat dan stagnan, karena:
(a) adanya kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya lahan dan air, serta
(b) stagnansi pertumbuhan produktivitas lahan dan tenaga kerja pertanian. Ketidak seimbangan pertumbuhan permintaan dan pertumbuhan kapasitas produksi nasional mengakibatkan kecenderungan pangan nasional dari impor meningkat, dan kondisi ini diterjemahkan sebagai ketidak mandirian penyediaan pangan nasional. Dengan kata lain hal ini dapat diartikan pula penyediaan pangan nasional (dari produksi domestik) yang tidak stabil.
Selain itu, saat ini di Indonesia sendiri Kendala dan tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional antara lain adalah: Berlanjutnya konversi lahan pertanian untuk kegiatan nonpertanian, khususnya pada lahan pertanian kelas satu di Jawa menyebabkan semakin sempitnya basis produksi pertanian, sedangkan lahan bukaan baru di luar Jawa mempunyai kesuburan yang relatif rendah. Demikian pula, ketersediaan sumber daya air untuk pertanian juga telah semakin langka. Dalam kaitan ini sektor pertanian menghadapi tantangan untuk meningkatkan efisiensi dan optimalisasi pemanfaatan sumber daya lahan dan air secara lestari dan mengantisipasi persaingan dengan aktifitas perekonomian dan pemukiman yang terkonsentrasi.
Selain itu Terbatasnya kemampuan kelembagaan produksi petani karena terbatasnya dukungan teknologi tepat guna, akses kepada sarana produksi, serta kemampuan pemasarannya. Adalah tantangan bagi institusi pelayanan yang bertugas memberikan kemudahan bagi petani dalam menerapkan iptek, memperoleh sarana produksi secara tepat, dan membina kemampuan manajemen agribisnis serta pemasaran, untuk meningkatkan kinerjanya memfasilitasi pengembangan usaha dan pendapatan petani secara lebih berhasil guna.

Target pertumbuhan 6,8 persen terancam tidak tercapai sebagaimana target pertumbuhan tiga tahun pertama. Dari sisi kebijakan moneter, tampaknya tidak ada lagi ruang manuver untuk menurunkan suku bunga guna mendorong perekonomian di tengah meningkatnya tekanan inflasi dan kecenderungan naik atau stabilnya suku bunga global. Yang lebih memilukan adalah perilaku para komprador pemburu keuntungan yang selama ini kecanduan mengimpor aneka bahan pangan mulai dari beras, gula, daging sampai buah-buahan. Karena, impor bahan pangan dapat menyengsarakan para petani, meningkatkan pengangguran, menghamburkan devisa, dan membunuh sector pertanian yang mestinya menjadi keunggulan kompetitif bangsa.
Dewasa ini Indonesia mengimpor sekitar 2,5 juta ton beras/tahun (terbesar di dunia); 2 juta ton gula /tahun (terbesar kedua); 1,2 juta ton kedelai/tahun; 1,3 juta ton jagung/tahun; 5 juta ton gandum/tahun; dan 550.000 ekor sapi/tahun.
Padahal kondisi agroekologis Nusantara cocok untuk budi daya hampir semua bahan pangan tersebut. Buktinya kita pernah mengukir prestasi monumental yang diakui dunia (FAO), swasembada beras pada 1984, yang sebelumnya sebagai pengimpor beras nomor wahid di dunia. Sebelum kebejatan moral merasuk ke tulang sumsum kebanyakan pejabat publik dan elit bangsa ini (sebelum 1986), kita pun mampu berswasembada gula dan jagung.

Hasil penelitian FAO (2000) membuktikan, bahwa suatu negara-bangsa dengan jumlah penduduk lebih dari 100 juta orang, tidak mungkin atau sulit untuk menjadi maju dan makmur, bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor.
Rendahnya laju peningkatan produksi pangan dan terus menurunnya produksi di Indonesia antara lain disebabkan oleh:
  1. Produktivitas tanaman pangan yang masih rendah dan terus menurun;
  2. Peningkatan luas areal penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun khususnya di lahan pertanian pangan produktif di pulau Jawa.

1.1 Mengapa Indonesia masih mengimpor beras dari luar negeri  ?
Penduduk Indonesia merupakan pemakan beras terbesar di dunia dengan konsumsi 154 kg per orang per tahun. Bandingkan dengan rerata konsumsi di China yang hanya 90 kg, India 74 kg, Thailand 100 kg, dan Philppine 100 kg. Hal ini mengakibatkan kebutuhan beras Indonesia menjadi tidak terpenuhi jika hanya mengandalkan produksi dalam negeri dan harus mengimpornya dari negara lain.
Selain itu, Indonesia masih mengimpor komoditas pangan lainnya seperti 45% kebutuhan kedelai dalam negeri, 50% kebutuhan garam dalam negeri, bahkan 70% kebutuhan susu dalam negeri dipenuhi melalui impor.
Faktor lain yang mendorong adanya impor bahan pangan adalah iklim, khususnya cuaca yang tidak mendukung keberhasilan sektor pertanian pangan, seperti yang terjadi saat ini. Pergeseran musim hujan dan musim kemarau menyebabkan petani kesulitan dalam menetapkan waktu yang tepat untuk mengawali masa tanam, benih besarta pupuk yang digunakan, dan sistem pertanaman yang digunakan. Sehingga penyediaan benih dan pupuk yang semula terjadwal, permintaanya menjadi tidak menentu yang dapat menyebabkan kelangkaan karena keterlambatan pasokan benih dan pupuk. Akhirnya hasil produksi pangan pada waktu itu menurun.
Bahkan terjadinya anomali iklim yang ekstrem dapat secara langsung menyebabkan penurunan produksi tanaman pangan tertentu, karena tidak mendukung lingkungan yang baik sebagai syarat tumbuh suatu tanaman. Contohnya saat terjadi anomali iklim El Nino menyebabkan penurunan hasil produksi tanaman tebu, sehingga negara melakukan impor gula.
Penyebab impor bahan pangan selanjutnya adalah luas lahan pertanian yang semakin sempit. Terdapat kecenderungan bahwa konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian mengalami percepatan. Dari tahun 1981 sampai tahun 1999 terjadi konversi lahan sawah di Jawa seluas 1 Juta Ha di Jawa dan 0,62 juta Ha di luar Jawa. Walaupun dalam periode waktu yang sama dilakukan percetakan sawah seluas 0,52 juta ha di Jawa dan sekitar 2,7 juta Ha di luar pulau Jawa, namun kenyataannya percetakan lahan sawah tanpa diikuti dengan pengontrolan konversi, tidak mampu membendung peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap beras impor.
Ketergantungan impor bahan baku pangan juga disebabkan mahalnya biaya transportasi di Indonesia yang mencapai 34 sen dolar AS per kilometer. Bandingkan dengan negara lain seperti Thailand, China, dan Vietnam yang rata-rata sebesar 22 sen dolar AS per kilometer. Sepanjang kepastian pasokan tidak kontinyu dan biaya transportasi tetap tinggi, maka industri produk pangan akan selalu memiliki ketergantungan impor bahan baku.
Faktor-faktor di atas yang mendorong dilakukannya impor masih diperparah dengan berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah yang semakin menambah ketergantungan kita akan produksi pangan luar negeri. Seperti kebijakan dan praktek privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi.
Privatisasi, akar dari masalah ini tidak hanya parsial pada aspek impor dan harga seperti yang sering didengungkan oleh pemerintah dan pers. Lebih besar dari itu, ternyata negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan, yakni kekuatan dalam mengatur produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Saat ini di sektor pangan, kita telah tergantung oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa. Privatisasi sektor pangan—yang notabene merupakan kebutuhan pokok rakyat—tentunya tidak sesuai dengan mandat konstitusi RI, yang menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Faktanya, Bulog dijadikan privat, dan industri hilir pangan hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasai oleh perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Mayoritas rakyat Indonesia jika tidak bekerja menjadi kuli di sektor pangan, pasti menjadi konsumen atau end-user. Privatisasi ini pun berdampak serius, sehingga berpotensi besar dikuasainya sektor pangan hanya oleh monopoli atau oligopoli (kartel), seperti yang sudah terjadi saat ini.
Liberalisasi, disebabkan oleh kebijakan dan praktek yang menyerahkan urusan pangan kepada pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO). Akibatnya negara dikooptasi menjadi antek perdagangan bebas. Negara ini pun melakukan upaya liberalisasi terhadap hal yang harusnya merupakan state obligation terhadap rakyat. Market access Indonesia dibuka lebar-lebar, bahkan hingga 0% seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998). Sementara domestic subsidy untuk petani kita terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan insentif harga). Di sisi lain, eksport subsidi dari negara-negara overproduksi pangan seperti AS dan Uni Eropa beserta perusahaan-perusahaannya malah meningkat. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik kita hancur. Hal ini jelas membunuh petani kita.
Deregulasi, beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka. Hal ini semakin parah dengan tidak diupayakannya secara serius pembangunan koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan.
Dengan sistem kebijakan dan praktek ini, Indonesia kini tergantung kepada pasar internasional (harga dan tren komoditas). Maka saat terjadi perubahan pola-pola produksi – distribusi – konsumsi secara internasional, kita langsung terkena dampaknya. Kasus kedelai 2008 ini sebenarnya bukanlah yang pertama, karena ada kasus-kasus sebelumnya (beras pada tahun 1998, susu pada tahun 2007, dan minyak goreng pada tahun 2007). Hal ini akan sedikit banyak serupa pada beberapa komoditas pangan yang sangat vital bagi rakyat yang masih tergantung pada pasar internasional: beras, kedelai, jagung, gula, singkong dan minyak goreng.

Perlukah Impor?
Pertama, bulog mengklaim bahwa mereka mengimpor dengan tujuan mengamankan stok beras dalam negeri. Bulog berargumen bahwa data produksi oleh BPS tidak bisa dijadikan pijakan sepenuhnya. Perhitungan produksi beras yang merupakan kerjasama antara BPS dan Kementrian Pertanian ini masih diragukan keakuratannya, terutama metode perhitungan luas panen yang dilakukan oleh Dinas Pertanian yang megandalkan metode pandangan mata.
Selanjutnya, data konsumsi beras juga diperkirakan kurang akurat. Data ini kemungkinan besar merupakan data yang underestimate atau overestimate. Angka konsumsi beras sebesar 139 kg/kapita/tahun sebenarnya bukan angka resmi dari BPS. Jika merujuk pada data BPS yang didasarkan pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), konsumsi beras pada tahun ini mencapai 102 kg/kapita/tahun. Angka ini underestimate, karena SUSENAS memang tidak dirancang untuk menghitung nilai konsumsi beras nasional.
Sebenarnya kebijakan impor beras ini juga bisa menjadi tantangan tersendiri bagi petani untuk meningkatkan produksi dan kualitas beras. Para petani dituntut untuk berproduksi bukan hanya mengandalkan kuantitas tetapi juga kualitas. Tentunya hal ini sedikit sulit terjadi tanpa adanya dukungan dari pemerintah. Hal ini dikarenakan petani lokal relatif tertinggal dari petani luar negeri terutama dalam bidang teknologi. Pemerintah harus memberi kepastian jaminan pasar sebagai peluang mengajak petani bergiat menanam komoditas tanaman pangan.

Mengapa Tidak Impor?
Kebijakan yang dipilih pemerintah untuk membuka kran Impor juga mendatangkan kontra. Pada satu sisi, keputusan importasi beras tersebut berlangsung ketika terjadi kenaikan harga beras saat ini. Selain itu, produksi padi dalam negeri dinyatakan cukup, dan masa panen masih berlangsung di banyak tempat. Bahkan berdasarkan Angka Ramalan (ARAM) II yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi nasional tahun ini diperkirakan mencapai 68,06 juta ton gabah kering giling, meningkat 1,59 juta ton (2,40%) dibandingkan tahun 2010 lalu. Kenaikan produksi diperkirakan terjadi karena peningkatan luas panen seluas 313,15 ribu hektar (2,36%), dan produktivitas sebesar 0,02 kuintal per hektar (0,04%). Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Pertanian, terdapat tiga provinsi yang mencatat surplus padi, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Surplus yang tejadi pada beberapa daerah ini tentunya dapat dijadikan cadangan oleh Bulog dan untuk didistribusikan ke daerah lain yang mengalami defisit.
Selanjutnya, impor beras yang terjadi di tengah produksi berlebih menurut data BPS sekarang ini memiliki dampak negatif yang panjang, seperti berkurangnya devisa negara, disinsentif terhadap petani, serta hilangnya sumber daya yang telah terpakai dan beras yang tidak dikonsumsi dan terserap oleh bulog.

1.2  Apa Peran Pemerintah dalam Memajukan Pertahanan Pangan
   1.  Memperkuat struktur ekonomi masyarakat berbasis agribisnis dan meningkatkan peranan serta swadaya masyarakat lokal
      Strategi umum pembangunan pertahanan pangan misal dalam hal pertanian adalah memajukan agribisnis, yaitu membangun secara sinergis dan harmonis aspek-aspek:
      (1) industri hulu pertanian yang meliputi perbenihan, input produksi lainnya dan alat mesin pertanian;
      (2) pertanian primer (on-farm);
      (3) industri hilir pertanian (pengolahan hasil); dan
      (4) jasa-jasa penunjang yang terkait.
      Mengingat bahwa pelaku utama agribisnis adalah petani dan pengusaha, dan tanpa adanya insentif pendapatan mereka akan enggan menekuni agribisnis, maka kata kunci dalam meningkatkan kinerja sektor ini adalah menciptakan insentif ekonomi yang menunjang daya tarik agribisnis.
      2.        Membuat kebijakan yang dapat memperkuat pertahan pangan
Upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional tidak terlepas dengan kebijakan umum pembangunan pertanian dalam mendukung penyediaan pangan terutama dari produksi domestik.
      3.    Pengembangan inovasi teknologi seperti pengembangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)
Pengembangan teknologi guna meningkatkan efisiensi akan mencakup spektrum teknologi yang sangat luas dari teknologi yang terkait dengan teknologi pengembangan sarana produksi (benih, pupuk dan insektisida), teknologi pengolahan lahan (traktor), teknologi pengelolaan air (irigasi gravitasi, irigasi pompa, efisiensi dan konservasi air), teknologi budidaya (cara tanam, jarak tanam, pemupukan berimbang, pola tanam, pergiliran varietas), teknologi pengendalian hama terpadu (PHT).
      4.    Diversifikasi Produksi Pangan
Diversifikasi produksi pangan merupakan aspek yang sangat penting dalam ketahanan pangan. Diversifikasi produksi pangan bermanfaat bagi upaya peningkatan pendapatan petani dan memperkecil resiko berusaha. Diversifikasi produksi secara langsung ataupun tidak juga akan mendukung upaya penganekaragaman pangan (diversifikasi konsumsi pangan) yang merupakan salah satu aspek penting dalam ketahanan pangan. 
      5.    Pemerintah harus lebih memberikan dukungan dan kontribusi terhadap komoditas lokal
      Kebijakan pemerintah harus mengacu pada produksi dan konsumen dalam negeri serta suplai pangan dalam negeri harus rutin. Harus ada teknologi yang mendukung seperti pengaturan curah ujan, dll.
      6.   Menghimbau kelompok tani yang ada di daerah memanfaatkan lumbung pangan untuk menabung hasil panen mereka
      Lumbung pangan yang dibangun pemerintah tersebut berfungsi untuk menyimpan hasil panen padi petani, caranya hasil panen mereka ditabung di lumbung pangan ini, keamanan dan mutu padi atau berasnya akan terjamin. Pembangunan lumbung pangan di setiap kecamatan di daerah .
      7.    Penahanan Konversi Lahan Padi
Ada satu paradoks yang pelik terkait lahan padi di Indonesia. Daerah yang paling subur dan cocok untuk bertanam padi adalah di Jawa, terutama di Pantura. Tetapi, kegunaan paling efisien dari lahan tersebut bukanlah untuk bertanam padi, karena lebih menguntungkan jika diubah menjadi kawasan industri atau pemukiman. Dan lagi, semakin banyak kawasan yang berubah jadi kawasan industri, semakin menguntungkan membangun kawasan industry lainnya di Pantura (efek aglomerasi).
Untuk itu, banyak pihak juga yang merasa adalah penting untuk menahan laju konversi lahan padi. Tetapi untuk itu butuh suatu langkah yang jangka panjang, seperti membangun kawasan-kawasan industri terpadu di luar Jawa, melakukan usaha-usaha pemerataan lainnya. Walau begitu, tampaknya opsi ini agak sulit untuk dilaksanakan dengan alami tanpa adanya pemaksaan dari pemerintah untuk mencegah konversi lahan.      
      8.  Melakukan pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Adalah menjamin tersedianya pendanaan dalam penyelenggaraan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Kebijakan Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan mengatur Pembiayaan pada keseluruhan sistem dan proses Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan, meliputi: perencanaan dan penetapan, pengembangan, penelitian, pemanfaatan, pembinaan, pengendalian, pengawasan, sistem informasi, serta perlindungan dan pemberdayaan Petani.


RANGKUMAN KETAHANAN NASIONAL

Dalam pencapaian cita-cita dan tujuan nasional akan memunculkan energy  positif dan negatif yang memaksa suatu bangsa untuk mencari solusi yang terbaik. Energy positif yang dimaksud adalah daya dan upaya yang menguatkan pembangunan bangsa sedangkan energy negatif akan melemahkan dan menghancurkan bangsa. Ketahanan nasional mutlak senantiasa untuk dibangun dan dikembangkan terus-menerus demi kelangsungan hidup bangsa.
        Bangsa Indonesia berada pada posisi yang rawan dengan instabilitas nasional. Hukum di Indonesia sebagai pranata sosial yang disusun untuk menjaga ketertiban seluruh rakyat.
         Untuk mencapai suatu ketahanan nasional yang ideal tentunya dibutuhkan landasan-landasan sebagai pijakan yang disebut pokok pikiran, pokok-pokok pikiran tersebut adalah:
1.       MANUSIA BERBUDAYA
Manusia yang berbudaya senantiasa mengadakan hubungan-hubungan:
a.       Manusia dengan Tuhan dinamakan Agama/Kepercayaan
b.      Manusia dengan cita-cita dinamakan Ideology
c.       Manusia dengan Kekuatan/kekuasaan dinamakan Politik
d.      Manusia dengan Pemenuhan kebutuhan dinamakan Ekonomi
e.      Manusia dengan penguasaan/pemanfaatan dinamakan IPTEK
f.        Manusia dengan manusia dinamakan Sosial
g.       Manusia dengan keindahan dinamakan Seni Budaya
h.      Manusia dengan rasa aman dinamakan Keamanan dan Pertahanan

2.       TUJUAN NASIONAL, FALSAFAH BANGSA, DAN IDEOLOGI NEGARA
Ketiganya merupakan pokok pikiran ketahanan nasional. Dalam mencapai suatu tujuan bangsa, pasti menemui masalah-masalah. Untuk mengatasinya diperlukan ideology dan falsafah bangsa yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945.

PENGERTIAN KETAHANAN NASIONAL INDONESIA
                Adalah kondisi hidup dan kehidupan nasional yang harus terus-menerus diwujudkan dan dibina secara sinergi.Proses itu harus selalu disadari oleh sebuah konsepsi yang dirancang dengan memperhatikan keadaan Indonesia. Konsepsi itu sebagai sarana untuk meningkatkan keuletan dan ketangguhan bangsa.

ASAS-ASAS KETAHANAN NASIONAL
1.     Asas kesejahteraan dan keamanan
2.      Asas komprehensif integral (menyeluruh terpadu)
3.   Asas mawas ke dalam dan ke luar, bertujuan untuk menumbuhkan nilai kemandirian untuk meningkatkan kualitas bangsa dan dapat mengantisipasi serta ikut berperan dalam lingkungan di luar negeri.
4.       Asas kekeluargaan

SIFAT KETAHANAN NASIONAL INDONESIA
1.       Mandiri
2.       Dinamis
3.       Wibawa
4.       Konsultasi dan kerjasama

PENGARUH ASPEK KETAHANAN NASIONAL TERHADAP KEHIDUPAN BERBANGSA
Konsep ketahanan nasional berpengaruh terhadap kehidupan berbangsa dalam suatu Negara. Pengaruh ini sangat kuat dan menjalar ke berbagai aspek,  dari aspek ideologi, geografi, ekonomi, politik, hingga sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan.
Pada aspek politik, ketahanan nasional dapat mempengaruhi politik dalam negeri dan luar negeri. Dalam aspek ekonomi, ketahanan nasional dapat mempengaruhi sistem ekonomi suatu Negara. Dan dalam aspek ideologi, ketahanan nasional mempengaruhi penentuan sikap suatu bangsa terhadap ideologi yang akan dianutnya. Serta pada aspek sosial dan budaya, ketahanan nasional mempengaruhi takaran atau patokan norma-norma dalam bersosialisasi. Begitu juga pada aspek hankam, ketahanan nasional berpengaruh pada rasa aman dalam diri rakyat Indonesia dari serangan yang berasal dari dalam maupun luar negeri.

KEBERHASILAN KETAHANAN NASIONAL INDONESIA
            Kondisi kehidupan nasional merupakan pencerminan ketahanan nasional yang harus dimiliki dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
            Untuk mewujudkan keberhasilan ketahanan nasional, diperlukan kesadaran setiap warga negaranya, yaitu:
1)      Memiliki semangat perjuangan non fisik yang berupa keuletan dan ketangguhan demi kelangsungan hidup bangsa.
2)      Sadar dan peduli terhadap pengaruh dan dampak yang akan terjadi pada setiap tindakan yang dilakukan.

Apabila seluruh masyarakat dalam suatu bangsa memiliki kesadaran diatas maka akan sangat memungkinkan keberhasilan ketahanan nasional dapat dicapai.