Program ketahanan pangan telah dilakukan sejak zaman
Presiden Soekarno dengan Program Berdikari, begitu pula zaman Presiden Soeharto
dikenal dengan Program Swasembada Pangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa ada
usaha yang cukup berperan dalam meningkatkan upaya ketahanan pangan di
Indonesia.
Indonesia sempat dikenal sebagai negara dunia ketiga yang
sukses dalam swasembada pangan, dan bahkan pernah mendapatkan penghargaan dari
FAO. Di penghujung tahun 1980-an, Bank Dunia memuji keberhasilan Indonesia
dalam mengurangi angka kemiskinan yang patut menjadi contoh bagi negara-negara
sedang berkembang (World Bank,1990). Namun prestasi ini tidak berlangsung lama
dapat dipertahankan.
Kondisi saat ini, pemenuhan pangan sebagai hak dasar
masih merupakan salah satu permasalahan mendasar dari permasalahan kemiskinan
di Indoensia. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009
menggambarkan masih terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, yaitu belum
terpenuhinya pangan yang layak dan memenuhi syarat gizi bagi masyarakat miskin,
rendahnya kemampuan daya beli, masih rentannya stabilitas ketersediaan pangan
secara merata dan harga yang terjangkau, masih ketergantungan yang tinggi
terhadap makanan pokok beras, kurangnya diversifikasi pangan, belum
efisiensiennya proses produksi pangan serta rendahnya harga jual yang diterima
petani, masih ketergantungan terhadap import pangan.
Padahal ketahanan pangan bukan hanya sebagai komoditi
yang memiliki fungsi ekonomi, akan tetapi merupakan komoditi yang memiliki
fungsi sosial dan politik, baik nasional maupun global. Permasalahan utama yang
dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia saat ini adalah bahwa
pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaan.
Permintaan yang meningkat merupakan resultante dari peningkatan jumlah
penduduk, pertumbuhan ekonomi, peningkatan daya beli masyarakat, dan perubahan
selera. Sementara itu, pertumbuhan kapasitas produksi pangan nasional cukup
lambat dan stagnan, karena:
(a) adanya kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya lahan
dan air, serta
(b) stagnansi pertumbuhan produktivitas lahan dan tenaga
kerja pertanian. Ketidak seimbangan pertumbuhan permintaan dan pertumbuhan
kapasitas produksi nasional mengakibatkan kecenderungan pangan nasional dari
impor meningkat, dan kondisi ini diterjemahkan sebagai ketidak mandirian
penyediaan pangan nasional. Dengan kata lain hal ini dapat diartikan pula
penyediaan pangan nasional (dari produksi domestik) yang tidak stabil.
Selain itu, saat ini di Indonesia sendiri Kendala dan
tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional antara lain
adalah: Berlanjutnya konversi lahan pertanian untuk kegiatan nonpertanian,
khususnya pada lahan pertanian kelas satu di Jawa menyebabkan semakin sempitnya
basis produksi pertanian, sedangkan lahan bukaan baru di luar Jawa mempunyai
kesuburan yang relatif rendah. Demikian pula, ketersediaan sumber daya air
untuk pertanian juga telah semakin langka. Dalam kaitan ini sektor pertanian
menghadapi tantangan untuk meningkatkan efisiensi dan optimalisasi pemanfaatan
sumber daya lahan dan air secara lestari dan mengantisipasi persaingan dengan
aktifitas perekonomian dan pemukiman yang terkonsentrasi.
Selain itu Terbatasnya kemampuan kelembagaan produksi
petani karena terbatasnya dukungan teknologi tepat guna, akses kepada sarana
produksi, serta kemampuan pemasarannya. Adalah tantangan bagi institusi
pelayanan yang bertugas memberikan kemudahan bagi petani dalam menerapkan
iptek, memperoleh sarana produksi secara tepat, dan membina kemampuan manajemen
agribisnis serta pemasaran, untuk meningkatkan kinerjanya memfasilitasi
pengembangan usaha dan pendapatan petani secara lebih berhasil guna.
Target
pertumbuhan 6,8 persen terancam tidak tercapai sebagaimana target pertumbuhan
tiga tahun pertama. Dari sisi kebijakan moneter, tampaknya tidak ada lagi ruang
manuver untuk menurunkan suku bunga guna mendorong perekonomian di tengah
meningkatnya tekanan inflasi dan kecenderungan naik atau stabilnya suku bunga
global. Yang lebih memilukan adalah perilaku para komprador pemburu keuntungan
yang selama ini kecanduan mengimpor aneka bahan pangan mulai dari beras, gula,
daging sampai buah-buahan. Karena, impor bahan pangan dapat menyengsarakan para
petani, meningkatkan pengangguran, menghamburkan devisa, dan membunuh sector
pertanian yang mestinya menjadi keunggulan kompetitif bangsa.
Dewasa
ini Indonesia mengimpor sekitar 2,5 juta ton beras/tahun (terbesar di dunia); 2
juta ton gula /tahun (terbesar kedua); 1,2 juta ton kedelai/tahun; 1,3 juta ton
jagung/tahun; 5 juta ton gandum/tahun; dan 550.000 ekor sapi/tahun.
Padahal
kondisi agroekologis Nusantara cocok untuk budi daya hampir semua bahan pangan
tersebut. Buktinya kita pernah mengukir prestasi monumental yang diakui dunia
(FAO), swasembada beras pada 1984, yang sebelumnya sebagai pengimpor beras
nomor wahid di dunia. Sebelum kebejatan moral merasuk ke tulang sumsum
kebanyakan pejabat publik dan elit bangsa ini (sebelum 1986), kita pun mampu
berswasembada gula dan jagung.
Hasil penelitian FAO (2000) membuktikan, bahwa suatu negara-bangsa dengan jumlah penduduk lebih dari 100 juta orang, tidak mungkin atau sulit untuk menjadi maju dan makmur, bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor.
Hasil penelitian FAO (2000) membuktikan, bahwa suatu negara-bangsa dengan jumlah penduduk lebih dari 100 juta orang, tidak mungkin atau sulit untuk menjadi maju dan makmur, bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor.
Rendahnya
laju peningkatan produksi pangan dan terus menurunnya produksi di Indonesia
antara lain disebabkan oleh:
- Produktivitas
tanaman pangan yang masih rendah dan terus menurun;
- Peningkatan
luas areal penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun khususnya di
lahan pertanian pangan produktif di pulau Jawa.
1.1
Mengapa Indonesia masih mengimpor beras dari luar negeri ?
Penduduk
Indonesia merupakan pemakan beras terbesar di dunia dengan konsumsi 154 kg per
orang per tahun. Bandingkan dengan rerata konsumsi di China yang hanya 90 kg,
India 74 kg, Thailand 100 kg, dan Philppine 100 kg. Hal ini mengakibatkan
kebutuhan beras Indonesia menjadi tidak terpenuhi jika hanya mengandalkan
produksi dalam negeri dan harus mengimpornya dari negara lain.
Selain
itu, Indonesia masih mengimpor komoditas pangan lainnya seperti 45% kebutuhan
kedelai dalam negeri, 50% kebutuhan garam dalam negeri, bahkan 70% kebutuhan
susu dalam negeri dipenuhi melalui impor.
Faktor
lain yang mendorong adanya impor bahan pangan adalah iklim, khususnya cuaca
yang tidak mendukung keberhasilan sektor pertanian pangan, seperti yang terjadi
saat ini. Pergeseran musim hujan dan musim kemarau menyebabkan petani kesulitan
dalam menetapkan waktu yang tepat untuk mengawali masa tanam, benih besarta
pupuk yang digunakan, dan sistem pertanaman yang digunakan. Sehingga penyediaan
benih dan pupuk yang semula terjadwal, permintaanya menjadi tidak menentu yang
dapat menyebabkan kelangkaan karena keterlambatan pasokan benih dan pupuk.
Akhirnya hasil produksi pangan pada waktu itu menurun.
Bahkan
terjadinya anomali iklim yang ekstrem dapat secara langsung menyebabkan
penurunan produksi tanaman pangan tertentu, karena tidak mendukung lingkungan
yang baik sebagai syarat tumbuh suatu tanaman. Contohnya saat terjadi anomali
iklim El Nino menyebabkan penurunan hasil produksi tanaman tebu, sehingga
negara melakukan impor gula.
Penyebab
impor bahan pangan selanjutnya adalah luas lahan pertanian yang semakin sempit.
Terdapat kecenderungan bahwa konversi lahan pertanian menjadi lahan non
pertanian mengalami percepatan. Dari tahun 1981 sampai tahun 1999 terjadi
konversi lahan sawah di Jawa seluas 1 Juta Ha di Jawa dan 0,62 juta Ha di luar
Jawa. Walaupun dalam periode waktu yang sama dilakukan percetakan sawah seluas
0,52 juta ha di Jawa dan sekitar 2,7 juta Ha di luar pulau Jawa, namun
kenyataannya percetakan lahan sawah tanpa diikuti dengan pengontrolan konversi,
tidak mampu membendung peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap beras
impor.
Ketergantungan
impor bahan baku pangan juga disebabkan mahalnya biaya transportasi di
Indonesia yang mencapai 34 sen dolar AS per kilometer. Bandingkan dengan negara
lain seperti Thailand, China, dan Vietnam yang rata-rata sebesar 22 sen dolar
AS per kilometer. Sepanjang kepastian pasokan tidak kontinyu dan biaya
transportasi tetap tinggi, maka industri produk pangan akan selalu memiliki
ketergantungan impor bahan baku.
Faktor-faktor
di atas yang mendorong dilakukannya impor masih diperparah dengan berbagai
kebijakan-kebijakan pemerintah yang semakin menambah ketergantungan kita akan
produksi pangan luar negeri. Seperti kebijakan dan praktek privatisasi,
liberalisasi, dan deregulasi.
Privatisasi,
akar dari masalah ini tidak hanya parsial pada aspek impor dan harga seperti yang
sering didengungkan oleh pemerintah dan pers. Lebih besar dari itu, ternyata
negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan, yakni kekuatan dalam
mengatur produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Saat ini di sektor
pangan, kita telah tergantung oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh
segelintir perusahaan raksasa. Privatisasi sektor pangan—yang notabene
merupakan kebutuhan pokok rakyat—tentunya tidak sesuai dengan mandat konstitusi
RI, yang menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat”. Faktanya, Bulog dijadikan privat, dan industri hilir pangan
hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasai oleh perusahaan seperti Cargill dan Charoen
Phokpand. Mayoritas rakyat Indonesia jika tidak bekerja menjadi kuli di sektor
pangan, pasti menjadi konsumen atau end-user. Privatisasi ini pun berdampak
serius, sehingga berpotensi besar dikuasainya sektor pangan hanya oleh monopoli
atau oligopoli (kartel), seperti yang sudah terjadi saat ini.
Liberalisasi,
disebabkan oleh kebijakan dan praktek yang menyerahkan urusan pangan kepada
pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme perdagangan pertanian yang
ditentukan oleh perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO).
Akibatnya negara dikooptasi menjadi antek perdagangan bebas. Negara ini pun
melakukan upaya liberalisasi terhadap hal yang harusnya merupakan state
obligation terhadap rakyat. Market access Indonesia dibuka lebar-lebar, bahkan
hingga 0% seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998). Sementara domestic
subsidy untuk petani kita terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit,
teknologi dan insentif harga). Di sisi lain, eksport subsidi dari negara-negara
overproduksi pangan seperti AS dan Uni Eropa beserta perusahaan-perusahaannya
malah meningkat. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar
dan harga domestik kita hancur. Hal ini jelas membunuh petani kita.
Deregulasi,
beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan
pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004
tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang
Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan
kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor
pangan semakin terbuka. Hal ini semakin parah dengan tidak diupayakannya secara
serius pembangunan koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi dan
konsumsi di sektor pangan.
Dengan
sistem kebijakan dan praktek ini, Indonesia kini tergantung kepada pasar
internasional (harga dan tren komoditas). Maka saat terjadi perubahan pola-pola
produksi – distribusi – konsumsi secara internasional, kita langsung terkena
dampaknya. Kasus kedelai 2008 ini sebenarnya bukanlah yang pertama, karena ada
kasus-kasus sebelumnya (beras pada tahun 1998, susu pada tahun 2007, dan minyak
goreng pada tahun 2007). Hal ini akan sedikit banyak serupa pada beberapa
komoditas pangan yang sangat vital bagi rakyat yang masih tergantung pada pasar
internasional: beras, kedelai, jagung, gula, singkong dan minyak goreng.
Perlukah
Impor?
Pertama,
bulog mengklaim bahwa mereka mengimpor dengan tujuan mengamankan stok beras
dalam negeri. Bulog berargumen bahwa data produksi oleh BPS tidak bisa
dijadikan pijakan sepenuhnya. Perhitungan produksi beras yang merupakan
kerjasama antara BPS dan Kementrian Pertanian ini masih diragukan
keakuratannya, terutama metode perhitungan luas panen yang dilakukan oleh Dinas
Pertanian yang megandalkan metode pandangan mata.
Selanjutnya,
data konsumsi beras juga diperkirakan kurang akurat. Data ini kemungkinan besar
merupakan data yang underestimate atau overestimate. Angka konsumsi beras
sebesar 139 kg/kapita/tahun sebenarnya bukan angka resmi dari BPS. Jika merujuk
pada data BPS yang didasarkan pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS),
konsumsi beras pada tahun ini mencapai 102 kg/kapita/tahun. Angka ini
underestimate, karena SUSENAS memang tidak dirancang untuk menghitung nilai
konsumsi beras nasional.
Sebenarnya
kebijakan impor beras ini juga bisa menjadi tantangan tersendiri bagi petani
untuk meningkatkan produksi dan kualitas beras. Para petani dituntut untuk
berproduksi bukan hanya mengandalkan kuantitas tetapi juga kualitas. Tentunya
hal ini sedikit sulit terjadi tanpa adanya dukungan dari pemerintah. Hal ini
dikarenakan petani lokal relatif tertinggal dari petani luar negeri terutama
dalam bidang teknologi. Pemerintah harus memberi kepastian jaminan pasar
sebagai peluang mengajak petani bergiat menanam komoditas tanaman pangan.
Mengapa
Tidak Impor?
Kebijakan
yang dipilih pemerintah untuk membuka kran Impor juga mendatangkan kontra. Pada
satu sisi, keputusan importasi beras tersebut berlangsung ketika terjadi
kenaikan harga beras saat ini. Selain itu, produksi padi dalam negeri
dinyatakan cukup, dan masa panen masih berlangsung di banyak tempat. Bahkan
berdasarkan Angka Ramalan (ARAM) II yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik
(BPS), produksi padi nasional tahun ini diperkirakan mencapai 68,06 juta ton
gabah kering giling, meningkat 1,59 juta ton (2,40%) dibandingkan tahun 2010
lalu. Kenaikan produksi diperkirakan terjadi karena peningkatan luas panen
seluas 313,15 ribu hektar (2,36%), dan produktivitas sebesar 0,02 kuintal per
hektar (0,04%). Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Pertanian, terdapat
tiga provinsi yang mencatat surplus padi, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, dan
Sulawesi Selatan. Surplus yang tejadi pada beberapa daerah ini tentunya dapat
dijadikan cadangan oleh Bulog dan untuk didistribusikan ke daerah lain yang
mengalami defisit.
Selanjutnya,
impor beras yang terjadi di tengah produksi berlebih menurut data BPS sekarang
ini memiliki dampak negatif yang panjang, seperti berkurangnya devisa negara,
disinsentif terhadap petani, serta hilangnya sumber daya yang telah terpakai
dan beras yang tidak dikonsumsi dan terserap oleh bulog.
1.2 Apa
Peran Pemerintah dalam Memajukan Pertahanan Pangan
1. Memperkuat struktur ekonomi masyarakat berbasis
agribisnis dan meningkatkan peranan serta swadaya masyarakat lokal
Strategi umum pembangunan pertahanan pangan misal dalam
hal pertanian adalah memajukan agribisnis, yaitu membangun secara sinergis dan
harmonis aspek-aspek:
(1) industri hulu pertanian yang meliputi perbenihan,
input produksi lainnya dan alat mesin pertanian;
(2) pertanian primer (on-farm);
(3) industri hilir pertanian (pengolahan hasil); dan
(4) jasa-jasa penunjang yang terkait.
Mengingat bahwa pelaku utama agribisnis adalah petani dan
pengusaha, dan tanpa adanya insentif pendapatan mereka akan enggan menekuni
agribisnis, maka kata kunci dalam meningkatkan kinerja sektor ini adalah
menciptakan insentif ekonomi yang menunjang daya tarik agribisnis.
2. Membuat kebijakan yang dapat memperkuat pertahan pangan
Upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional tidak terlepas
dengan kebijakan umum pembangunan pertanian dalam mendukung penyediaan pangan
terutama dari produksi domestik.
3. Pengembangan inovasi teknologi seperti pengembangan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)
Pengembangan teknologi guna meningkatkan efisiensi akan
mencakup spektrum teknologi yang sangat luas dari teknologi yang terkait dengan
teknologi pengembangan sarana produksi (benih, pupuk dan insektisida),
teknologi pengolahan lahan (traktor), teknologi pengelolaan air (irigasi
gravitasi, irigasi pompa, efisiensi dan konservasi air), teknologi budidaya
(cara tanam, jarak tanam, pemupukan berimbang, pola tanam, pergiliran varietas),
teknologi pengendalian hama terpadu (PHT).
4. Diversifikasi Produksi Pangan
Diversifikasi produksi pangan merupakan aspek yang sangat
penting dalam ketahanan pangan. Diversifikasi produksi pangan bermanfaat bagi
upaya peningkatan pendapatan petani dan memperkecil resiko berusaha.
Diversifikasi produksi secara langsung ataupun tidak juga akan mendukung upaya
penganekaragaman pangan (diversifikasi konsumsi pangan) yang merupakan salah
satu aspek penting dalam ketahanan pangan.
5. Pemerintah harus lebih memberikan dukungan dan kontribusi
terhadap komoditas lokal
Kebijakan pemerintah harus mengacu pada produksi dan
konsumen dalam negeri serta suplai pangan dalam negeri harus rutin. Harus ada teknologi yang mendukung
seperti pengaturan curah ujan, dll.
6. Menghimbau kelompok tani yang ada di daerah memanfaatkan
lumbung pangan untuk menabung hasil panen mereka
Lumbung pangan yang dibangun pemerintah tersebut
berfungsi untuk menyimpan hasil panen padi petani, caranya hasil panen mereka
ditabung di lumbung pangan ini, keamanan dan mutu padi atau berasnya akan
terjamin. Pembangunan lumbung pangan di setiap kecamatan di daerah .
7. Penahanan
Konversi Lahan Padi
Ada
satu paradoks yang pelik terkait lahan padi di Indonesia. Daerah yang paling
subur dan cocok untuk bertanam padi adalah di Jawa, terutama di Pantura.
Tetapi, kegunaan paling efisien dari lahan tersebut bukanlah untuk bertanam
padi, karena lebih menguntungkan jika diubah menjadi kawasan industri atau
pemukiman. Dan lagi, semakin banyak kawasan yang berubah jadi kawasan industri,
semakin menguntungkan membangun kawasan industry lainnya di Pantura (efek
aglomerasi).
Untuk itu, banyak pihak juga yang merasa adalah penting untuk menahan laju konversi lahan padi. Tetapi untuk itu butuh suatu langkah yang jangka panjang, seperti membangun kawasan-kawasan industri terpadu di luar Jawa, melakukan usaha-usaha pemerataan lainnya. Walau begitu, tampaknya opsi ini agak sulit untuk dilaksanakan dengan alami tanpa adanya pemaksaan dari pemerintah untuk mencegah konversi lahan.
Untuk itu, banyak pihak juga yang merasa adalah penting untuk menahan laju konversi lahan padi. Tetapi untuk itu butuh suatu langkah yang jangka panjang, seperti membangun kawasan-kawasan industri terpadu di luar Jawa, melakukan usaha-usaha pemerataan lainnya. Walau begitu, tampaknya opsi ini agak sulit untuk dilaksanakan dengan alami tanpa adanya pemaksaan dari pemerintah untuk mencegah konversi lahan.
8. Melakukan pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan
Adalah menjamin tersedianya pendanaan dalam
penyelenggaraan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota. Kebijakan Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan mengatur Pembiayaan pada keseluruhan sistem dan proses
Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan, meliputi: perencanaan dan
penetapan, pengembangan, penelitian, pemanfaatan, pembinaan, pengendalian,
pengawasan, sistem informasi, serta perlindungan dan pemberdayaan Petani.