Indonesia merupakan
Negara kepulauan dengan
garis pantai sekitar 81.900 kilometer, memiliki wilayah
perbatasan dengan banyak
Negara baik perbatasan
darat (kontinen) maupun laut (maritim). Batas darat wilayah Republik Indonesia berbatasan langsung
dengan negara-negara Malaysia,
Papua New Guinea (PNG) dan Timor Leste.
Perbatasan darat Indonesia
tersebar di tiga pulau, empat
Provinsi dan 15 kabupaten/kota yang
masing-masing memiliki karakteristik
perbatasan yang berbeda-beda.
Demikian pula Negara
tetangga yang berbatasannya
baik bila ditinjau dari segi kondisi
sosial, ekonomi, politik maupun
budayanya. Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan
dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand,
Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua Nugini (PNG). Wilayah perbatasan
laut pada umumnya
berupa pulau-pulau terluar
yang jumlahnya 92 pulau
dan termasuk pulau-pulau
kecil. Beberapa diantaranya masih
perlu penataan dan pengelolaan
yang lebih intensif
karena mempunyai kecenderungan permasalahan dengan
Negara tetangga.
Peraturan Presiden
Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM-Nasional 2004-2009) telah
menetapkan arah dan
pengembangan wilayah Perbatasan Negara sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional . Pembangunan wilayah perbatasan memiliki keterkaitan yang sangat erat
dengan misi pembangunan nasional, terutama untuk menjamin
keutuhan dan kedaulatan wilayah , pertahanan keamanan nasional , serta meningkatkan kesejahteraan rakyat di wilayah
perbatasan. Paradigma baru, pengembangan wilayah-wilayah perbatasan
adalah dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung
berorientasi “inward looking†, menjadi “outward looking†sehingga wilayah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai
pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga.
Pendekatan pembangunan wilayah Perbatasan Negara menggunakan pendekatan
kesejahteraan (prosperity approach) dengan tidak meninggalkan pendekatan
keamanan (security approach). Sedangkan program pengembangan wilayah
perbatasan (RPJM Nasional 2004-2009), bertujuan untuk : (a) menjaga keutuhan
wilayah NKRI melalui penetapan hak kedaulatan NKRI yang dijamin oleh Hukum
Internasional; (b) meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dengan
menggali potensi ekonomi, sosial dan budaya serta keuntungan lokasi geografis
yang sangat strategis untuk berhubungan dengan negara tetangga. Disamping itu
permasalahan perbatasan juga dihadapkan pada permasalahan keamanan seperti
separatisme dan maraknya kegiatan-kegiatan ilegal.
Peraturan Presiden
Nomor 39 Tahun 2005 tentang Rencana
Kerja Pemerintah Tahun 2006 (RKP 2006) telah pula menempatkan pembangunan
wilayah perbatasan sebagai prioritas pertama dalam mengurangi disparitas
pembangunan antarwilayah, dengan program-program antara lain : Percepatan
pembangunan prasarana dan sarana di wilayah perbatasan, pulau-pulau kecil
terisolir melalui kegiatan :
(i)
pengarusutamaan DAK untuk wilayah
perbatasan, terkait dengan pendidikan, kesehatan, kelautan dan perikanan,
irigási, dan transportasi,
(ii)
penerapan skim kewajiban layanan publik dan
keperintisan untuk transportasi dan kewajiban layanan untuk telekomunikasi
serta listrik pedesaan;
Pengembangan ekonomi di wilayah
Perbatasan Negara;
Peningkatan keamanan dan kelancaran lalu
lintas orang dan barang di wilayah perbatasan, melalui kegiatan :
(i)
penetapan garis batas negara dan garis
batas administratif,
(ii)
peningkatan penyediaan fasilitas
kapabeanan, keimigrasian, karantina, komunikasi, informasi, dan pertahanan di
wilayah Perbatasan Negara (CIQS); Peningkatan kapasitas kelembagaan
pemerintah daerah yang secara adminstratif terletak di wilayah Perbatasan
Negara.
Komitmen pemerintah
melalui kedua produk hukum ini pada kenyataannya belum dapat dilaksanakan
sebagaimana mestinya karena beberapa faktor yang saling terkait, mulai dari
segi politik, hukum, kelembagaan, sumberdaya, koordinasi, dan faktor lainnya.
Sebagian besar wilayah
perbatasan di Indonesia masih merupakan daerah tertinggal dengan sarana dan
prasarana sosial dan ekonomi yang masih sangat terbatas. Pandangan dimasa lalu
bahwa daerah perbatasan merupakan wilayah yang perlu diawasi secara ketat
karena menjadi tempat persembunyian para pemberontak telah menjadikan paradigma
pembangunan perbatasan lebih mengutamakan pada pendekatan keamanan dari pada
kesejahteraan. Sebagai wilayah perbatasan di beberapa daerah
menjadi tidak tersentuh oleh dinamika sehingga pembangunan dan masyarakatnya
pada umumnya miskin dan banyak yang berorientasi kepada negara tetangga. Di
lain pihak, salah satu negara tetangga yaitu Malaysia, telah membangun
pusat-pusat pertumbuhan dan koridor perbatasannya melalui berbagai kegiatan
ekonomi dan perdagangan yang telah memberikan keuntungan bagi pemerintah maupun
masyarakatnya. Demikian juga Timor Leste, tidak tertutup
kemungkinan dimasa mendatang dalam waktu yang relatif singkat, melalui
pemanfaatan dukungan internasional, akan menjadi negara yang berkembang pesat,
sehingga jika tidak diantisipasi provinsi NTT yang ada di perbatasan dengan
negara tersebut akan tetap tertinggal.
Dengan berlakunya
perdagangan bebas baik ASEAN maupun internasional serta kesepakatan serta
kerjasama ekonomi baik regional maupun bilateral, maka peluang ekonomi di
beberapa wilayah perbatasan darat maupun laut menjadi lebih terbuka dan perlu
menjadi pertimbangan dalam upaya pengembangan wilayah tersebut. Kerjasama
sub-regional seperti AFTA (Asean Free Trade Area), IMS-GT (Indonesia
Malaysia Singapura Growth Triangle), IMT-GT (Indonesia Malaysia Thailand
Growth Triangle), BIMP-EAGA (Brunei, Indonesia, Malaysia, Philipina-East
Asian Growth Area) dan AIDA (Australia Indonesia Development Area)
perlu dimanfaatkan secara optimal sehingga memberikan keuntungan kedua belah
pihak secara seimbang. Untuk melaksanakan berbagai kerjasama ekonomi
internasional dan sub-regional tersebut Indonesia perlu menyiapkan berbagai
kebijakan dan langkah serta program pembangunan yang menyeluruh dan terpadu
sehingga Indonesia tidak akan tertinggal dari negara-negara tetangga yang
menyebabkan sumberdaya alam yang tersedia terutama di wilayah perbatasan akan
tersedot keluar tanpa memberikan keuntungan bagai masyarakat dan
pemerintah. Sarana dan prasarana ekonomi dan sosial yang dibutuhkan
dalam rangka pelaksanaan kerjasama bilateral dan sub-regional perlu disiapkan.
Penyediaan sarana dan prasarana ini tentunya membutuhkan biaya yang sangat besar,
oleh karena itu diperlukan penentuan prioritas baik lokasi maupun waktu
pelaksanaannya.
Rencana Induk
Pengelolaan Perbatasan ini diharapkan dapat memberikan prinsip-prinsip
pengembangan wilayah Perbatasan Negara sesuai dengan karakteristik fungsionalnya
untuk mengejar ketertinggalan dari daerah di sekitarnya yang lebih berkembang
ataupun untuk mensinergikan dengan perkembangan negara tetangga. Selain itu,
kebijakan dan strategi ini nantinya juga ditujukan untuk menjaga atau
mengamankan wilayah Perbatasan Negara dari upaya-upaya eksploitasi sumberdaya
alam yang berlebihan, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun yang dilakukan
dengan dorongan kepentingan negara tetangga, sehingga kegiatan ekonomi dapat dilakukan
secara lebih selektif dan optimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar